Kuatkan Program Deradikalisasi Mantan Teroris, Densus 88 Gandeng Kementerian Dalam Negeri

Editor: Yaspen Martinus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Densus 88 sedang menggodok perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kementerian Dalam Negeri.

TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes MD Shodiq mengatakan, pihaknya sedang menggodok perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kementerian Dalam Negeri.

Kerja sama itu terkait program deradikalisasi terhadap mantan narapidana terorisme.

Shodiq mengatakan, setelah mantan narapidana terorisme bebas dan kembali ke masyarakat, maka kegiatan deradikalisasi dilakukan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga.

Baca juga: Kubu AHY Bilang Jhoni Allen Marbun Ingin Balik lagi ke Partai Demokrat, Kuasa Hukum: Fitnah

Menurutnya, peran kementerian dan lembaga dalam proses tersebut sangat penting.

Sehingga, para mantan terpidana terorisme tidak dilepas begitu saja ke masyarakat, namun terus didampingi.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Diskusi Publik bertajuk Terorisme dan Radikalisme: Perlukah Densus 88 Dibubarkan? Di kanal YouTube Suara SETARA, Jumat (15/10/2021).

Baca juga: Mantan Pegawai KPK Niat Bikin Partai, Pengamat Ingatkan Beratnya Tantangan Jika Ingin Ikut Pemilu

"Ya, sekarang saya sedang on progress bikin PKS dengan Kementerian Dalam Negeri, untuk melibatkan seluruh stakeholder di wilayah."

"Seperti Kesbangpol itu harus aktif memonitor kegiatannya. Ini sedang kita buat PKS-nya," ungkap Shodiq.

Shodiq mengatakan, meskipun PKS dengan Kemendagri tersebut merupakan hal baru, pelaksanaannya telah dilakukan selama ini.

Baca juga: Fadli Zon Usul Densus 88 Dibubarkan, Peneliti LIPI: Kalau Ada Bom Jangan Mengeluh

Ia mengatakan, PKS tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum pelaksanaan kegiatan tersebut.

"Tapi pelaksanaannya sudah kita laksanakan, tinggal payung hukum."

"Karena teman-teman di pemda, terutama di wilayah itu butuh payung hukum untuk turun. Makanya kita bikin," jelasnya.

Dampingi Teroris Sejak Terduga Hingga Bebas

Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes MD Shodiq membeberkan berbagai cara dan pendekatan untuk meluluhkan hati para teroris, hingga mereka bebas kembali ke masyarakat.

Pendekatan yang disebut pendekatan hati dan empati tersebut, kata dia, dilakukan sejak tahap interogasi selama 14 hari, saat status mereka masih terduga teroris.

Pendekatan tersebut, kata dia, kemudian dilanjutkan saat status mereka dinaikkan menjadi tersangka teroris.

Baca juga: Perludem: Pemilu 2024 Bakal Jadi yang Paling Rumit dan Kompleks dalam Sejarah Elektoral Indonesia

Selama menjadi tersangka, kata dia, Densus 88 akan terus memantau mereka selama proses penyidikan.

Densus 88, kata dia, juga melibatkan keluarga tersangka dalam proses tersebut.

Apabila tersangka teroris sakit, lanjutnya, maka Densus 88 akan mempertemukannya dengan keluarga.

Baca juga: 87 Persen Publik yang Disurvei SMRC Menolak Presiden Dipilih MPR Seperti di Masa Orde Baru

Hal tersebut disampaikan Shodiq, dalam Diskusi Publik bertajuk Terorisme dan Radikalisme: Perlukah Densus 88 Dibubarkan? Di kanal YouTube Suara SETARA, Jumat (15/10/2021).

"Masa pandemi ini kita kasih video call."

"Kalau perlu kita naikkan pesawat, kita pertemukan dia, kita bon, kita bawa keluar, kita pertemukan."

Baca juga: Survei SMRC: 82 Persen Rakyat Tolak Pemilu 2024 Diundur ke 2027, 13 Persen Publik Setuju

"Memang ada sedikit melanggar di internal, tapi itu demi pembinaan dan deradikalisasi, itu patut kita lakukan," tuturnya.

Selain itu, kata dia, Densus 88 juga akan memberikan tersangka teroris, buku-buku bacaan.

Buku-buku yang diberikan Densus 88 akan disesuaikan dengan tingkatan pemahaman radikal dari para tersangka.

Baca juga: Pendaftaran Calon Anggota KPU dan Bawaslu Dibuka Mulai Senin 18 Oktober 2021

"Begitu statusnya dikirim berkas P21 tahap 2, pendekatannya juga berbeda."

"Psikolog juga asesmen. Karena dia tahap 2 statusnya mulai jadi terdakwa, dia mulai kenal dengan lingkungan."

"Melihat hakim, melihat kerumunan orang, karena ini sidang terbuka."

Baca juga: KPK Ungkap Satu dari Lima Orang Mengaku Ada Nepotisme Saat Direkrut Jadi Pegawai Negeri

"Sehingga dia sudah mulai melihat dunia luar. Itu juga intervensinya berbeda," jelas Shodiq.

Setelah itu, lanjutnya, Densus 88 akan memberikan buku-buku semi moderat untuk mengubah pemahaman tersangka secara perlahan.

Setelah status perkara tersangka telah diputus dan inkrah sehingga menjadi terpidana, kata dia, maka pendekatan yang digunakan berbeda lagi.

Baca juga: 19 Pengurus DPD Partai Ummat Cianjur Mundur, Sebut Nama Wakil Ketua Umum

Densus 88 akan kembali melakukan asesmen melalui psikolog, dan terus melakukan pendampingan.

Setelah putusan perkara telah inkrah, kata dia, para terpidana terorisme akan dipindahkan ke lapas yang direkomendasikan Densus 88.

Ketika terpidana telah kooperatif dan kembali kepada NKRI, lanjutnya, maka mereka akan direkomendasikan untuk dipindah ke lapas dekat rumah tinggal.

Baca juga: Bekas Pegawai KPK Disarankan Bikin Ormas Dahulu Sebelum Dirikan Partai Politik

"Ketika dia sampai inkrah pemahamannya masih keras, kita pindah ke Nusakambangan."

"Dengan harapan, di sana kita asesmen terus. Karena apa? Di sana punya fasilitas."

"Ada medium, maksimum, ada super maksimum. Ini ada tahapan," paparnya.

Baca juga: Moeldoko Disebut Beri Rp 25 Juta dan Ponsel kepada Ketua DPC Peserta KLB, Kuasa Hukum: Tuduhan Keji

Tidak hanya itu, kata dia, Densus 88 terus memantau perkembangan hingga mereka bebas.

Biasanya, lanjut dia, problem yang dihadapi oleh para mantan terpidana terorisme akan mulai bermunculan mulai dari ekonomi, hingga sosialisasi di masyarakat.

"Itulah salah satu tugas kita."

Baca juga: Komisi II DPR Dorong KPU dan MA-MK Bikin Kesepakatan Percepatan Penanganan Sengketa Pemilu 2024

"Bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa ini orang sudah lulus, terima lah jadi warga yang biasa, kita asesmen."

"Maka kita melakukan pendekatan kewirausahaan," terang Shodiq.

Setelah mereka bebas dan kembali ke masyarakat, kata dia, kegiatan deradikalisasi dilakukan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga.

Baca juga: IM57+ Institute Siap Wujudkan Keinginan Sejumlah Mantan Pegawai KPK Dirikan Parpol

Menurutnya, peran kementerian dan lembaga dalam proses tersebut sangat penting, sehingga para mantan terpidana terorisme tidak dilepas begitu saja ke masyarakat, namun terus didampingi.

"Dengan perjalanan ini, saya punya visi misi saya itu zero residivis."

"Semenjak saya diberikan amanah di sini, tidak ada lagi yang mengulangi perbuatan kekerasan atau terorisme," klaim Shodiq.

Tiga Jenis Interogasi

Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes MD Shodiq mengungkapkan tiga jenis interogasi terhadap terduga teroris, yang selama ini dilakukan.

Tiga jenis interogasi tersebut merupakan bagian dari implementasi penegakan hukum secara soft approach atau humanis, yang dilakukan khususnya oleh direktorat yang dipimpinnya.

Dalam konteks Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, interogasi mulai dilakukan selama 14 hari.

Baca juga: 78 Persen Responden yang Disurvei SMRC Ogah UUD 1945 Diamandemen

Interogasi, kata dia, dilakukan oleh para interogator yang berkualifikasi.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Diskusi Publik bertajuk Terorisme dan Radikalisme: Perlukah Densus 88 Dibubarkan? Di kanal Youtube Suara SETARA, Jumat (15/10/2021).

"Kita pendekatan pertama soft approach 14 hari itu interogasi ada tiga jenisnya."

Baca juga: Rocky Gerung Bilang Pemilu 2024 Bakal Jadi Kandang Oligarki Beternak Politisi

"Pertama, interogasi untuk kepentingan penyidikan, SiADiDeMenBaBi (Siapa, Apa, di mana, Dengan Apa, Mengapa, Bagaimana, Bilamana)."

"Kalau terpenuhi unsur itu, sudah naikkan. Maka 14 hari itu naik status jadi tersangka," jelasnya.

Interogasi berikutnya, kata dia, adalah identifikasi dan profiling untuk kebutuhan jaringan intelijen dan database di Densus 88.

Baca juga: Kepatuhan Masyarakat Pakai Masker Lebih dari 93 Persen, Jaga Jarak di Atas 91 Persen

Ketiga, lanjutnya, interogasi untuk kepentingan pembinaan dan deradikalisasi.

"Di situlah kita didampingi oleh tim psikolog untuk melakukan pendekatan-pendekatan hati dan empati," terang Shodiq.

Dalam pendekatan empati tersebut, kata Shodiq, dibutuhkan kemampuan merasa untuk menjadi diri dari terduga teroris, keluarga, bahkan temannya.

Baca juga: Siti Zuhro: Politisasi SARA Demi Menang Pemilu Adalah Kekejian

Sehingga, kata dia, para terduga teroris tersebut percaya dengan interogator.

"Kadang kita diskusi selama 14 hari tidak menyentuh substansi masalah."

"Hanya membangun chemistry antara saya dan teman-teman dengan mereka selama 14 hari."

Baca juga: UPDATE Covid-19 Indonesia 15 Oktober 2021: 1.408 Pasien Sembuh, 915 Orang Positif, 41 Meninggal

"Setelah terbangun komunikasi yang intens, baru kita serahkan ke penyidik. Status naik jadi tersangka," bebernya.

Shodiq juga mengungkapkan pengalamannya bertugas menjadi interogator dalam kasus-kasus terorisme sejak 1988.

Ia menggambarkan pada interogasi tahap awal dilakukan tidak dalam bentuk mencari tahu perbuatan dari terduga teroris, karena para interagator sudah mengetahui karakter mereka.

Baca juga: Survei SMRC Ungkap 84 Persen Rakyat Ingin Masa Jabatan Presiden Tetap Dibatasi Dua Periode

Dalam interogasi tersebut, kata dia, borgol terduga teroris akan dilepas dan diberi minum.

Pertanyaan awal yang ditanyakan, kata dia, adalah apa yang terduga teroris tersebut rasakan.

"Tidak pernah menanyakan substansi perkara yang ditangkap."

"Karena saya anggap dia ditangkap karena alat bukti sudah cukup oleh teman-teman intelijen," papar Shodiq. (Gita Irawan)