TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG -- Pakar Hukum Pidana sekaligus Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad, melihat adanya putusan yang mencederai nalar hukum pada putusan hakim terhadap terdakwa kasus korupsi Asabri, Heru Hidayat.
Pada kasus korupsi Asabri, Heru Hidayat, dinyatakan bersalah dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2022). Namun hakim tidak menjatuhkan hukuman penjara.
Suparji menyatakan, vonis itu aneh jika dipandang dari aspek rasa keadilan masyarakat. Sebab putusan tersebut tidak berisi hukuman pidana penjara, padahal tuntutan jaksa adalah hukuman mati.
“Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan mencederai nalar hukum karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” ujar Suparji, dalam keterangannya, yang telah dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu (19/1/2022).
Suparji menyatakan bahwa putusan tersebut memang harus dihormati, namun patut dikritisi.
Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.
Baca juga: KPK Geledah Rumah Berpagar Tembok Setinggi 2 Meter
"Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat,” katanya.
“Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya (AJS) dengan kerugian negara sebesar Rp 16,7 triliun akan tanpa hukuman pidana dalam kasus Asabri yang kerugiannya lebih besar yaitu Rp 22,7 triliun,” katanya.
Suparji menilai hakim terkesan tidak melihat akibat yang mungkin terjadi apabila Heru Hidayat menggunakan upaya hukum peninjauan kembali atas hukuman seumur hidup pada kasus Jiwasraya. Bisa saja peninjauan kembali tersebut dikabulkan dan Heru dipidana penjara 10 tahun atau 15 tahun.
Baca juga: Polisi Tangkap Pelaku Penusukan yang Tewaskan Anggota TNI
“Itu artinya Pengadilan telah memutuskan dua perkara tipikor AJS dan Asabri dengan total kerugian keuangan negara sekitar Rp 39 triliun dengan hukuman pidana yang teramat ringan yaitu 10 tahun atau 15 tahun,” ulasnya.
Suparji Ahmad mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim.
Upaya banding , menurut Suparji merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
Baca juga: Kehidupan Sehari-hari Han So Hee Berubah Gara-gara Drama Korea My Name
"Kita berharap putusan banding nantinya hakim akan progersif dan mengutamakan keadilan substantive untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putusan tingkat pertama," katanya.
Sebab, jika menilik ketentuan pasal 193 ayat 1 KUHAP, apabila hakim menyatakan terdakwa bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana. Putusan a quo nyatakan perbuatan terdakwa terbukti mestinya dipidana bukan nihil. Sesuai Pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga jaksa meski melakukan banding.
Baca juga: Luna Maya Heran Dipuji Warganet karena Lakukan Tindakan Medis Membekukan Sel Telur
"Putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan mengingat perbuatan terdakwa sangat rugikan negara, masyarakat/nasabah dan berulang. Seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan JPU, mestinya hukuman bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara dengan tetap jatuhi hukuman," katanya.
"Bersyarat maksudnya, dihukum seumur hidup dengan syarat tidak perlu dijalani apabila putusan sebelumnya (AJS) tidak ada pengurangan hukuman. Bila ini ditempuh merupakan bentuk progesivitas putusan hakim," tukasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pakar Hukum Pidana: Putusan Heru Hidayat di Kasus Asabri Ciderai Nalar Hukum