Konflik Rempang

PBNU Haramkan Rebut Tanah Rempang Batam Secara Paksa Hingga Sebabkan Bentrokan

Editor: Joko Supriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kondisi di Pulau Rempang Galang, Kota Batam, Provinsi Kepri saat terjadi bentrok.

TRIBUNRANGERANG.COM - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai jika masalah yang terjadi di Pulau Rempang Batam merupakan persoalan yang kerap terulang di Indonesia.

Konflik agraria demi proyek strategis nasional (PSN) kerap terjadi dan hal ini juga dialami oleh warga rempang imbas dari proyek pembangunan Rempang Eco City.

Maka dari itu, PBNU mendorong pemerintah untuk melakukan pendekatan dengan warga Rempang, Batam agar tidak terjadi kekerasan yang sudah melampaui batas. 

"Jadi masalah di Rempang merupakan masalah berulang satu kasus yang serupa dengan masalah lainnya dimana tanah yang harusnya jadi hak rakyat lalu diambil atas nama pembangunan," kata Ketua  Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla dalam bincang bersama Tribunnews, Minggu (17/9/2023).

Baca juga: Panglima Pajaji Geram Perlakuan Aparat ke Warga Rempang Hingga Buat Ustaz Abdul Somad Serukan Ini

Konflik di Pulau Rempang ini sama dengan kasus-kasus sebelumnya terjadi dimana hak rakyat diambil paksa negara atas nama pembangunan secara paksa. 

Gus Ulil sapaan akrab KH Ulil Abshar Abdalla mengatakan jika pihaknya selalu konsiten terakit sikap permasalahan konflik argaria ini, seperti kasus Semen Indonesia,  kasus Wadas, yaitu tidak boleh melakukan pencabutan hak tanah rakyat atas nama negara atau pembangunan tanpa proses komunikasi dua arah dengan kekerasan dan pemaksaan.

""Kita sangat sedih peristiwa seperti ini terus berulang. Kita tahu sesungguhnya ada kebutuhan pemerintah untuk pembangunan sehingga membutuhkan investasi untuk tingkatkan ekonomi. Tapi itu tidak boleh mengorbankan hak rakyat," katanya.

PBNU haramkan soal merebut hak orang lain secara tidak sah hukumnya.

Baca juga: Ustaz Abdul Somad Ungkap Sosok Asli Burhan yang Dipanggil Polisi Terkait Kasus Rempang Eco City

Dalam hukum Islam jika suatu tanah yang antah berantah tidak digarap atau tidak dimanfaatkan bila digunakan seseorang maka dimanfaatkan secara de fakto maka dialah pemilik tanah itu.

Jadi warga yang sudah bertahun-tahun bahkan berabad lalu tinggal di Rempang maka merekalah pemilik Tanah.

Kalau pemerintah berusaha merebut tanah warga Rempang dengan kekerasan maka pemerintah akan kena getahnya dan melukai rakyat.

Menurut Gus Ulil, dialog ini memang tidak akan menyenangkan bagi pihak yang mau cepat merealisasikan kepentingan mereka. 

"Tindakan pemerintah sudah mencederai rasa keadilan dan sekarang ini kita lihat publik sebagian besar sudah marah. NU dorong semua pihak cooling down meski lama terutama aparat keamanan harus menahan diri tidak melakukan kekerasan," ujarnya.

Sikap Muhammadiyah

Konflik yang terjadi di Pulau Rempang, Batam tengah menjadi sorotan publik baru-baru ini.

Sebab, konflik yang terjadi di Rempang berujung bentrokan antar warga dan petugas kepolisian.

Warga setempat menolak proyek Rempang Eco City yang menyebakan warga terusir dari kampung kelahirannya.

Konflik yang terjadi pun juga menyita perhatian, termasuk salah satunya Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Baca juga: Kronologi Bentrok di Rempang Batam yang Jadi Sorotan Kapolri Usai Gas Air Mata Buat Pelajar Pingsan

Bahkan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan HAM mengeluarkan sikap terkait dengan bentrok yang terjadi di Pulau Rempang, Batam itu.

Ada 8 sikap yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait apa yang terjadi di Rempang, Batam.

Pertama, meminta agar Presiden Joko Widodo dan Menteri Kooridinator bidang Perekonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco City sebagai PSN.

"Presiden juga didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan," ujar Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam keterangan tertulis, Rabu (13/9/2023).

Baca juga: Warga Rempang Dapat Rp1,2 Juta Per Bulan Per Orang dari BP Batam Jika Mau Relokasi

Sikap kedua, mendesak agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan. Serta menarik seluruh aparat bersenjata di lokasi konflik.

Ketiga, mendesak agar pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini ditempat dan mengedepankan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), dan berdialogi dengan cara yang damai.

Sikap keempat, mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengevaluasi beragam aturan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi karena menjadikan masyarakat sebagai korban.

"Kelima, mendesak Kementerian PPN/Bappenas untuk menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak yang terdampak dan memastikan prinsip keadilan antar generasi," tutur Busyro.

Baca juga: Jokowi Sebut Komunikasi yang Kurang Baik Jadi Faktor Picu Bentrokan di Pulau Rempang Batam

Keenam, PP Muhammadiyah meminta Kapolri dan Panglima TNI menarik pasukannya di lokasi yang dimiliki masyarakat Pulau Rempang.

"Minta mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam bentrok yang terjadi 7 September 2023. Kapolri juga didesak mencopot Kapolda Kepulaua Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarkat sipil," katanya.

Ketujuh, mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggungjawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak terdampak brutalitas aparat kepolisian dan pemerintah.

"Terakhir, mendesak pemerintah agar segera menjamin dan memuliakan hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup, mempertahankan kebudayaan dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati, serta mengedepankan pendekatan HAM," pungkas Busyro.

(Wartakotalive.com/Kompas.com)