Kepala BMKG: Pantai Pacitan Berpotensi Dilanda Tsunami 28 Meter, Tiba di Darat dalam Waktu 29 Menit

Dwikorita mengatakan, yang namanya skenario artinya masih bersifat potensi, yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi.

Editor: Yaspen Martinus
ISTIMEWA
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati meminta masyarakat dan Pemkab Pacitan, bersiap untuk skenario terburuk gempa dan tsunami. 

TRIBUNTANGERANG, PACITAN - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati meminta masyarakat dan Pemkab Pacitan, bersiap untuk skenario terburuk gempa dan tsunami.

Hal tersebut dilakukan untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami yang mengintai pesisir selatan Jawa, akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.

"Berdasarkan hasil penelitian, di Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit."

Baca juga: Siapa Penganiaya Muhammad Kece? Penyidik Bakal Gelar Perkara dan Tentukan Tersangkanya

"Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter."

"Dengan potensi jarak genangan mencapai 4 - 6 kilometer dari bibir pantai," beber Dwikorita saat simulasi gempa bumi dan tsunami yang digelar bersama Kementerian Sosial di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Sabtu (11/9/2021), dikutip dari laman bmkg.go.id.

Dalam simulasi tersebut, Dwikorita bersama Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji melakukan verifikasi zona bahaya dan menyusuri jalur evakuasi bencana.

Baca juga: Muncul Opsi Jalan Tengah Pemilihan Panglima TNI, Setara Institute: Bisa Jadi Persoalan Baru

Dwikorita menyebut, dengan skenario tersebut, maka masyarakat yang berada di zona bahaya perlu berlatih rutin untuk melakukan langkah evakuasi mandiri, bila mendapatkan Peringatan Dini Tsunami maksimum 5 menit setelah gempa terjadi.

Masyarakat, khususnya yang berada di wilayah pesisir pantai, harus segera mengungsi ke dataran yang lebih tinggi jika merasakan goncangan gempa yang besar.

"Untuk masyarakat yang berada di pantai, tidak perlu menunggu perintah, aba-aba, atau sirine."

Baca juga: Muhammad Kece Dianiaya Tahanan Lain di Rutan Bareskrim, Polisi Belum Tetapkan Tersangka

"Segera lari, karena waktu yang dimiliki hanya sekitar 29 menit, sedangkan jarak tempat yang aman yang lebih tinggi cukup jauh," imbuhnya.

Dwikorita mengatakan, yang namanya skenario artinya masih bersifat potensi, yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi.

Namun demikian, masyarakat dan pemerintah daerah harus sudah siap dengan skenario terburuk tersebut.

Baca juga: Menteri Perdagangan: Aplikasi PeduliLindungi Belum Siap Diterapkan di Pasar Tradisional

Artinya, lanjut Dwikorita, jika masyarakat dan pemerintah daerah siap, maka jumlah korban jiwa maupun kerugian materi dapat diminimalisir.

Dengan skenario terburuk ini, kata dia, pemerintah daerah bersama-sama masyarakat bisa lebih maksimal mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih komprehensif.

"Jika masyarakat terlatih, maka tidak ada istilah gugup dan gagap saat bencana terjadi."

Baca juga: UPDATE Covid-19 Indonesia 17 September 2021: 3.835 Orang Positif, 7.912 Sembuh, 219 Meninggal

"Begitu gempa terjadi, baik masyarakat maupun pemerintah sudah tahu apa-apa saja yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas tersebut," tegasnya.

Dwikorita menegaskan, hingga saat ini tidak ada teknologi atau satu pun negara di dunia yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami secara tepat dan akurat.

Apalagi, lengkap dengan perkiraan tanggal, jam, lokasi, dan magnitudo gempa.

Baca juga: Timba Ilmu di Bali, Siswa Program ADEM Dukung PON XX Papua Berjalan Sukses

Semua masih sebatas kajian yang didasarkan pada salah satunya adalah sejarah gempa di wilayah tersebut.

BMKG memberi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan dan menambah jalur-jalur evakuasi, lengkap dengan rambu-rambu di zona merah menuju zona hijau.

Mengingat luasnya zona bahaya (zona merah) dan padatnya pemukiman penduduk, maka pemerintah daerah harus lebih cermat dan tepat dalam memperhitungkan jumlah dan lokasi jalur evakuasi yang diperlukan.

Baca juga: Hasil Survei Ungkap 34,33 Persen Warga Enggan Divaksin Covid-19 karena Anggap Prosesnya Rumit

Pertimbangannya adalah jarak lokasi tempat evakuasi, waktu datangnya gelombang genangan tsunami, kelayakan jalur, serta menyiapkan mekanisme dan sarana prasarana evakuasi secara tepat.

Pemerintah daerah, lanjut Dwikorita, juga perlu menyiapkan secara khusus sarana dan prasarana evakuasi bagi kelompok lanjut usia (lansia) dan difabel.

Masyarakat juga harus terus diedukasi mengenai potensi bencana dan cara menghadapinya.

Baca juga: PKS Wacanakan Duet Anies-Sandi di Pilpres 2024, Gerindra Risih

"Saya rasa perlu juga disiapkan semacam Tempat Evakuasi Sementara (TES) ataupun Tempat Evakuasi Akhir (TEA)."

"Sebagai tempat penampungan khusus bagi warga yang mengungsi dengan ketersediaan stok/cadangan logistik yang memadai," usulnya.

Potensi Gempa Megathrust di Selatan Jawa, Gelombang Tsunami 20 Meter Butuh 20 Menit Sampai ke Darat

Para ilmuwan di Institut Teknologi Bandung (ITB) memprediksi bakal ada gempa megathrust yang berpotensi memunculkan gelombang tsunami setinggi 20 meter di selatan Pulau Jawa.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah melakukan modelling terkait ancaman tersebut.

Dalam modelling tersebut, gelombang tsunami hanya butuh waktu 20 menit untuk mencapai ke daratan.

Muhammadiyah Bakal Gugat Pemerintah Jika Pilkada Serentak 2020 Jadi Klaster Baru Covid-19

"Tergantung sumber gempa sendiri, kalau jarak episentrumnya jauh lebih dari 200 kilometer lebih ya mungkin lama."

"Tapi kalau episentrumnya tidak jauh dari pantai, mungkin 20 menit sudah sampai ke daratan," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono, saat berbincang dengan Tribun, Jumat (25/9/2020).

Menurut Rahmat, modelling yang dilakukan BMKG tersebut sudah dilakukan sejak dahulu kala.

Satu Cleaning Service Kejagung Dikabarkan Simpan Rp 100 Juta dan Bisa Akses Lantai 6 Saat Kebakaran

Modelling tersebut berdasarkan sejarah dan catatan kejadian masa lampau di titik-titik gempa megathrust.

"Adanya modelling yang dilakukan itu sudah berdasarkan catatan sejarah masa lampau," ujar Rahmat.

Karena itu, lanjutnya, BMKG meminta semua pihak menyikapi potensi ancaman gempa dan tsunami besar tersebut secara bijak.

Gatot Nurmantyo: Saya Tidak Pernah Katakan Dicopot Sebagai Panglima TNI karena Nobar Film G30S/PKI

Sebab, wilayah Indonesia, kata dia, memang memiliki potensi bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami.

Karena, dikelilingi lempeng tektonik mulai dari Barat Sumatera, Simeuleu, Nias, Enggano, lalu masuk ke Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua.

"Papua juga kan bisa terancam tsunami kalau ada gempa besar di Jepang, Amerika Latin."

Bakal Ikut Mundur dari KPK Seperti Febri Diansyah? Novel Baswedan: Saya Belum Tentukan Sikap

"Tapi itu sampainya kan lama, 13 jam lebih, 24 jam lebih kalau dari Amerika Latin, dari Cile."

"Beda dibandingkan tsunami di selatan Jawa yang hanya dalam hitungan menit sudah sampai, "papar Rahmat.

Gempa megathrust dan ancaman tsunami 20 meter ini, lanjut Rahmat, juga baru prediksi menggunakan data-data yang akurat, dan catatan sejarah masa lampau.

DAFTAR Zona Merah Covid-19 di Indonesia: Sempat Turun ke Angka 41, Kini Melonjak Lagi Jadi 58

Memang, kata Rahmat, gempa dan gelombang tsunami tidak bisa diprediksi kapan datangnya.

"Justru yang di Palu kita belum pernah prediksi malah terjadi," cetusnya.

Rahmat juga mengapresiasi hasil prediksi dan penelitian dari para ilmuwan ITB tersebut.

Ia berharap nantinya hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan sistem early warning dalam hal kebencanaan. (*)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved