Supaya MK Kembali Berwibawa, TPN Ganjar-Mahfud Minta Anwar Usman Dipecat

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dipecat jika terbukti melanggar etik.

Istimewa
Anwar Usman merupakan ipar Presiden Joko Widodo sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. 

TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dipecat jika terbukti melanggar etik.

Hal tersebut disampaikan Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis di Media Centre TPN, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023).

Adapun hal itu merespons pelanggaran etik yang diduga dilakukan sembilan hakim konstitusi dalam memutus putusan 90/PUU-XXI/2023.

Todung mengatakan, citra Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini berada di bawah titik nadir terendah. Kepercayaan publik menipis.

Dia menyebut masyarakat menanti keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) soal pelanggaran etik hakim MK.

"Putusan besok (Selasa, 6/11) jadi ujian MKMK adalah memulihkan trust pada MK. Apakah MKMK berani mengeluarkan keputusan yg bisa mengembalikan kepercayaan terhadap MK," kata Todung.

Baca juga: Terungkap, Ada Hakim MK yang Sudah Ingatkan Konflik Kepentingan Anwar Usman Namun Tidak Digubris

Untuk bisa mengembalikan wibawa MK, kata dia, maka MKMK bisa memutuskan bahwa Ketua MK diberhentikan dengan tidak hormat. 

"Kalau MKMK mau lebih berani lagi maka bisa saja 3 hakim MK diberhentikan. Kalau Mau lebih berani lagi maka bisa juga 5 hakim MK diberhentikan dan diganti," kata Todung.

Ia mengatakan, di pundak MKMK trust atau kepercayaan masyarakat terhadap MK dipertaruhkan.

"Besok ada putusan MKMK, konon ada 9 hakim yang diadukan dan semua melanggar etika. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bilang pelanggaran etika sudah terbukti. Namun soal sanksi ini belum jelas. Sanksinya bisa berupa peringatan, peringatan tertulis dan pemberhentian dengab tidak hormat," kata Todung.

Menurut Todung, di dalam MK terlihat jelas ada konflik kepentingan. Sebab seorang hakim tidak boleh memutus perkara yang ada konflik kepentingan keluarga.

Apabila hakim itu tetap memaksa ikut memutuskan dalam putusan perkara itu maka putusannya bisa disebut cacat hukum.

Baca juga: Namanya Berkali-kali Dilaporkan ke MKMK, Adik Ipar Jokowi Akan Kembali Diperiksa oleh Jimly

Todung menilai apa yang dilakukan Ketua MK bukan hanya soal pelanggaran etika tapi lebih dari itu apa yang dilakukannya adalah sebuah pelanggaran hukum.

"UU memberikan jalan pemberhentian karena perbuatan tercela. Jimly perlu memberhentikan dengan tidak hormat ketua MK Anwar Usman. Apakah mungkin? Kita tunggu dan lihat besok. Namun bila mengutip pernyataan Jimly disebut jelas ada pelanggaran etik Ketua MK," kata Todung.

Todung mengatakan, kepercayaan publik terhadap MK dirusak oleh putusan MK No.90/PUU-XXI//2023. Putusan ini telah merusak tatanan kehidupan bernegara.

"Kalau itu dibiarkan dan kita permisif maka ini jadi preseden buruk yang akan diulangi di masa depan," kata Todung.

Dirinya melihat perkara ini bukan soal konflik of interes tapi sebenarnya perkara itu tidak bisa diuji karena sudah diuji sebelumnya pada perkara yang sama di sidang MK pada lagi harinya. 

"Banyak yang janggal misal soal legal standing yang tidak ditandatangani. Juga ketidakterbukaan Ketua MK yang tidak mengakui punya benturan kepentingan. Lalu soal Ketua MK sakit atau tidak sakit. What going on what wrong," ucap Todung.

Baca juga: Jawaban Khofifah Indar Parawansa Setelah Dibujuk Gabung TKN Prabowo-Gibran

Todung menilai apa yang terjadi saat ini Indonesia set back ke situasi sebelum 1998.

Jadi, kata dia, kalau bangsa Indonesia ingin merawat kehidupan bernegara maka harus mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga MK.

Soal kemungkinan apakah putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan, Todung menjawab bila melihat pandangan konservatif maka putusan MK tidak bisa diubah.

Namun, kata Todung, gugatan terhadap putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Deny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar bisa saja MK mengubah putusan MK tersebut.

Sebab seharusnya MK hanya bisa berfungsi sebagai negatif legislatif dan tidak bisa membuat norma baru.

"Namun apakah ada keberanian hukum dari hakim-hakim MK untuk melakukan itu? Pandangan konservatif tidak ada putusan MK yg bisa digugat. Tapi melihat proses dan kejanggalan maka itu bisa dilakukan," kata Todung.

Todung mengungkapkan saat ini indeks korupsi Indonesia sangat jelek yakni di urutan 34. Ditambah konflik of interest yang terjadi di MK maka itu sebuah tragedi.

Menurut Todung, dunia saat ini sedang melihat Indonesia. Indonesia sedang mengalami regresi demokrasi dan hukum yang menyedihkan sebagai sebuah bangsa. Demokrasi dan hukum mengalami alami kemunduran.

"Jangan bicara Indonesia emas kalo kita tidak bisa menegakkan penegakan hukum. Indonesia bisa jadi negara yang dekat dengan negara gagal," tutupnya. (m27)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved