Menilik Peran DPR sebagai 'Rumah Rakyat', Menampik Isu Ketidakpercayaan Publik

Andreas Hugo Pareira tak heran jika ada warga yang menyindir terkait 'ketidakhadiran' seorang anggota DPR RI paska resmi terpilih.

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Lucky Oktaviano
Warta Kota/Nuri Yatul Hikmah
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andrean Hugo Pareira mengingatkan soal peran DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat dalam membuat kebijakan. 

TRIBUN TANGERANG, JAKARTA — Sebagai lembaga yang dilabelkan menjadi rumah bagi rakyat, kerja-kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tak pernah luput dari sorotan publik. 

Transparansi, keadilan, kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang acapkali dibahas oleh para wakil rakyat, selalu dinantikan perkembangannya. 

Sehingga, bukan hal baru jika lembaga yang identik dengan gedung Conefo berwarna hijau itu, banyak dihujani kritik pedas hingga ketidakpercayaan publik.

Menurut Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pariera, keberadaan DPR RI bukan hanya sebagai arena keterpilihan seseorang saja.

Lebih dari itu, ada peran krusial yang memastikan suara rakyat benar-benar terwakili di samping fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasannya DPR RI.

"Sehingga kalau ada orang yang bilang tidak perlu ada DPR, kalau tidak perlu ada DPR, nanti kita bikin kerajaan aja gitu. Jadi yang presiden raja nanti, artinya dia bisa memutuskan sendiri semua," kata Andreas saat ditemui di kantornya, Gedung Nusantara I DPR RI, Rabu (27/8/2025).

Sedangkan Indonesia, lanjut dia, merupakan negara demokrasi yang pasti mempunyai lembaga perwakilan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.

"Dan di Indonesia itu namanya DPR. Nah sebagai anggota DPR, tentu ya kami menjalankan fungsi sebagai representasi dari mewakili rakyat secara keseluruhan," ujar Andreas.

Menurutnya, dia dan para anggota DPR lain yang duduk di parlemen, sudah mengucapkan sumpah untuk mewakili suara rakyat di daerah pemilihannya. 

Termasuk juga mewakili partai pengusung yang membuatnya menjadi anggota DPR RI.

Sehingga kombinasi dari tugas-tugas tersebut harus dijalankan secara berimbang dengan cara mengalami, mendengar, dan melihat apa yang dirasakan rakyat.

"Nah di situlah kami bilang fungsi representasi itu akan hadir, akan ada sebagaimana seharusnya," jelas Andreas.

Namun demikian, pria yang sempat menjadi dosen di Universitas Katolik Parahyangan itu tak menampik jika ada persoalan krusial di mana keterpilihan seorang anggota DPR Ri, didasarkan pada banyaknya suara yang dihimpun.

Karena itu, ia tidak heran jika ada warga yang akhirnya menyindir terkait 'ketidakhadiran' seorang anggota DPR RI paska resmi terpilih.

"Karena pertanyaannya adalah dia menjadi anggota DPR ya karena dia terpilih kan, tapi apakah terpilih itu mewakili?" tanyanya menohok.

Menurut Andreas, pertanyaan itulah yang seharusnya dinilai oleh masyarakat itu sendiri. Yakni, terkait pilihannya, terhadap seorang figur wakil rakyat.

"Saya kira tantangan untuk kami juga, baik sebagai anggota DPR maupun sistem yang kami bangun di dalam sistem perwakilan kita gitu. Yang seharusnya mewakili, bukan hanya sekadar terpilih," jelas Andreas.

Oleh karena itu, dia menyampaikan bahwa anggota DPR dan DPR memiliki dua perbedaan meskipun berada dalam satu tubuh yang sama.

"Orang selalu menyampaikan kalau seseorang bicara di anggota DPR, bicara itu seolah-olah mewakili seluruh DPR gitu kan. Sementara DPR itu kan lembaga yang sangat heterogen gitu. Ada anggota, ada fraksi, ada komisi (dalam menjalankan kerjanya)," kata Andreas.

Sehingga menurutnya, kerja-kerja anggota DPR RI seharusnya diukur dari tingkat kehadiran dia, serta bagaimana menjalankan fungsi legislasi dalam hal membuat dan menyusun anggaran yang sesuai dengan hajat hidup orang banyak.

DPR di Era Disrupsi Teknologi

Sorotan publik terhadap DPR RI paling banyak terjadi lewat platfom media sosial. Pasalnya semua pemberitaan, isu terkini, hingga agenda rapat dan sidang, dapat diakses masyarakat luas. 

Terlebih paska pandemi Covid-19, DPR RI mulai bertranformasi dengan menciptakan e-Parliament hingga penyediaan TV Pool di beberapa sidang dan rapat-rapat.

"Suka tidak suka, kami harus mengikuti instrumen ini gitu ya. Instrumen media sosial, media mainstream untuk kemudian ya lebih mengekspos diri, mengekspos apa yang kita lakukan gitu ke masyarakat," jelas Andreas.

"Cuma memang ya itu tadi gitu, faktor keterpilihan tadi yang saya maksudkan itu sangat erat kaitannya dengan popularitas. Nah karena itu, suka tidak suka. Orang tidak akan memilih kalau tidak dikenal," imbuhnya.

Sehingga, ia seolah menggambarkan bahwa hal ini bisa terlihat sebagai pisau bermata dua dan money politics.

Di mana kepopularan seseorang terlihat dari banyaknya sorotan di media. Namun, pertanyaan apakah yang ditampilkan itu akan sesuai dengan kerjanya selama 5 tahun ke depan atau tidak, masih belum bisa dibuktikan.

Hal itulah yang dianggap Andreas menjadi sebuah tantangan bagi DPR RI di era digital seperti sekarang ini. Belum lagi dengan adanya sebaran hoaks.

"Kalau dari DPR, kami menggunakan semua instrumen yang ada untuk mendengar, melihat, mengalami, membaca dari berbagai macam gejala yang muncul di publik," kata Andreas.

"Tapi ya tentu tidak semua informasi itu benar. Sehingga juga seorang anggota DPR dia juga harus pandai untuk memfilter informasi, apakah ini informasi atau disinformasi atau hoaks yang dilemparkan ke publik," imbuhnya.

Apabila isu yang berkembang adalah hal yang bagus untuk ditindaklanjuti, maka DPR akan membawanya dalam rapat parlemen.

Hanya saja, transformasi DPR RI yang berupaya mengedepankan transparansi juga masih mendapat banyak kritik publik, terutama dalam hal pembahasan undang-undang.

Dia memberikan pemisalan di badan legislasi yang di mana partisipasi masyarakat sangatlah bermakna.

"Sehingga setiap pembahasan undang-undang itu memang ada fase pembahasan di mana itu ketika belum menjadi pembahasan antara pemerintah dan DPR, mungkin masih dibahas di panja-panja (panitia kerja), mungkin itu pembahasan tertutup," jelas Andreas.

"Tapi ketika pembahasan itu menyangkut pasal-pasal dengan pemerintah, itu seharusnya terbuka gitu. Dan para di publik juga, atau yang mewakili publik," lanjut dia.

Bahkan menurutnya, undang-undang itu perlu didengarkan berikut dengan pembahasan kasus-kasusnya. Dengan begitu, transparansi DPR kepada publik dapat dirasakan.

Lebih lanjut, Andreas menjelaskan bahwa sejak ia duduk di DPR RI pada 2005 hingga sekarang, perkembangan instrumen digital yang diterapkan saat ini, berfungsi baik dalam hal kemudahan.

Di mana, para anggota DPR RI bisa berintetaksi dan menemukan aspirasi masyarakat dengan mudah tanpa ada pembatasan media jenis tertentu.

"Jadi transparansi itu pasti kami lakukan, banyak hal yang bisa dilihat di sini. Cuma memang sebagai anggota DPR, ada tempat di mana ya politisi itu kan harus lihat kapan dia bicara dan kapan dia tidak bicara," katanya.

"Atau ada hak dari sebagai politisi untuk tidak bicara juga kalau ketika ada hal yang tidak perlu kami bicara gitu kan. Tapi ya ketika ada informasi yang harus disampaikan ke publik, ya kami harus sampaikan. Dan di situlah ya seninya berpolitik," lanjut Andreas.

Di akhir, Andreas memastikan bahwa pihaknya sangat terbuka untuk menerima, mendengar, dan memonitor apa yang ada di masyarakat. Hanya saja, ia perlu mengatur waktu di sela-sela aktivitas rapat kerja yang rutin dilakukan.

Akan tetapi apabila rakyat merasa tidak puas dan perlu demonstrasi, ia menganggap hal tersebut sangatlah wajar mengingat Indonesia sebagai negara demokrasi. "Saya kira itulah situasi yang kami hadapi DPR dan sebagai anggota DPR, kami berinteraksi, berdinamika di situ," pungkasnya. (m40)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved