KISAH Juragan Becak Kayuh di Tangerang, Tak Patok Jumlah Setoran, Tinggal di Gubuk Dekat Parit
Tak banyak penghasilan yang bisa diharapkan dari profesi tukang becak. Terkadang, untuk memenuhi kebutuhan makan pun susah.
Penulis: Rafzanjani Simanjorang | Editor: Yaspen Martinus
Saking sulitnya akibat pandemi, terkadang dari 15 becak yang ia miliki, hanya tujuh atau delapan becak yang disewa oleh kawan-kawannya.
Kadang pula ia meminjamkan uang kepada teman-temannya yang tidak mendapatkan uang sama sekali dalam sehari itu.
"Kadang-kadang itu terjadi, mereka tidak dapat penumpang."
Baca juga: Mayoritas Disuntik Sinovac, 86% Penduduk Indonesia Harus Divaksin Jika Ingin Herd Immunity Terbentuk
"Ada yang minjam untuk biaya makan, Rp 20.000, ada Rp 25.000. Itu saya kasih."
"Pokoknya setoran becak mah sederhana."
"Kalau ada setor, kalau tidak ya jangan dipaksain," sambungnya.
Baca juga: Jika Herd Immunity Tak Terbentuk Tahun Ini, IDI Sarankan Masyarakat Umum Disuntik Vaksin Booster
Meskipun punya 15 becak yang disewakan, bukan berarti Ajo hidup berkecukupan.
Ia bahkan rela dua tahun tak pulang kampung demi mencari nafkah untuk keluarganya.
"Kalau dulu mah bisa pulang, bawa Rp 2.000.000-an, kalau sekarang paling tiap bulan transfer Rp 300 (ribu)-an," tuturnya.
Baca juga: Mayoritas Disuntik Sinovac, 86% Penduduk Indonesia Harus Divaksin Jika Ingin Herd Immunity Terbentuk
Ajo pun tidak mengontrak rumah.
Ia hanya tinggal di sebuah gubuk kecil tak jauh dari aliran air (parit) di Jalan TMP Taruna, Kota Tangerang.
Agar bertahan dari terpaan hujan atau panas, ia mendesain sedemikian rupa tenda gubuknya.
Baca juga: Pemerintah Panggil 48 Obligor dan Debitur BLBI Termasuk Tommy Soeharto untuk Lunasi Utang
Untuk keperluan mandi dan makan, ia biasanya datang ke warteg yang telah ia anggap sebagai saudara.
"Harapannya semoga bisa kembali seperti dulu. Kami tidak bingung. Kalau dulu banyak langganan," ucapnya.
Demi Anak Istri, Warga Kampung Melayu Jakarta Ini Rela Kayuh Becak di Pasar Anyar Tangerang