Partai Politik
Gelar Kongres Usai Kepergian Rachmawati Sukarnoputri, Partai Pelopor Ganti Nama Jadi Partai Perkasa
Partai yang berdiri pada 29 Agustus 2002 ini diketuai oleh Eko Suryo Santjojo, dan posisi Sekretaris Jenderal dijabat oleh Ristiyanto.
TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Partai Pelopor menggelar kongres di Hotel Acacia, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (9/10/2021).
Bertema 'Konsolidasi Menuju Pemilu 2024', kongres ini menjadi yang pertama tanpa kehadiran pendiri sekaligus ikon Partai Pelopor, Rachmawati Sukarnoputri, yang wafat pada 3 Juli 2021, karena Covid-19.
Partai yang berdiri pada 29 Agustus 2002 ini diketuai oleh Eko Suryo Santjojo, dan posisi Sekretaris Jenderal dijabat oleh Ristiyanto.
Baca juga: Partai Buruh Targetkan Rebut 20 Kursi di DPR dan Menang di 10 Kabupaten/Kota Saat Pilkada
Dalam pidatonya, Eko mengatakan ada beberapa poin usulan kongres yang diusulkan oleh para peserta, yakni perubahan nama partai, AD/RT, dan kepengurusan.
"Jadi kongres hari ini mengagendakan perubahan nama partai pelopor, AD/ART partai, dan susunan kepengurusan di parpol baru tersebut."
"Selanjutnya saya berharap hari ini selesai agar minggu depan bisa didaftarkan ke Kemenkumham," kata Eko kepada wartawan, Sabtu (9/10/2021).
Baca juga: Pandemi Covid-19 Bikin Jumlah Orang Miskin di Indonesia Bertambah Menjadi 10,19 Persen
Eko melanjutkan, dengan nama partai baru, ia berharap ke depan tidak bicara lagi sebagai partai nasional, tapi untuk segmentasi yang lebih jelas.
"Ke depan dengan nama partai baru, saya berharap kita tidak lagi berpartai politik yang menjual idiom nasionalisme ataupun religi."
"Yang pada akhirnya mendikotomi dan menghadap-hadapkan seolah religi lawan nasionalis."
Baca juga: Partai Ummat Optimis Tembus 5 Besar di Pemilu 2024
"Oleh karena itu, partai baru ini harus menjadi triger sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman."
"Tidak terjebak dalam dikotomi SARA yang akirnya mendegradasi pentas politik Indonesia saat ini," tuturnya.
Menurut Eko, akibat dikotomi politik nasionalis religius, terjadi degradasi nilai dunia politik Indonesia yang memecah belah masyarakat, yang tergambar dari munculnya istilah cebong dan kadrun.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 9 Oktober 2021: Dosis Pertama 99.825.254, Suntikan Kedua 57.225.331
"Labeling cebong, kampret, dan kadrun jelas telah merusak tatanan politik nasional, akibat idiom nasionalisme dan religius."
"Ini merupakan produk industri demokrasi yang menciptakan buzzer-buzzer bayaran yang perilakunya jauh dari nilai-nilai Pancasila," ucapnya.
Eko memaparkan, nilai-nilai Pancasila yang digali dari budaya dan norma agama masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan, menjadi inspirasi lahirnya nama baru mengganti nama Partai Pelopor.
Baca juga: Dikurangi Menjadi Lima Hari, Sandiaga Uno Ingin Ada Resor Khusus untuk Karantina Wisatawan
"Pancasila yang digali dari norma adat dan norma agama harusnya melahirkan kehidupan politik yang sehat, bukan malah merusak tatanan politik."
"Di mana seolah kalau ada kelompok nasionalis, artinya lawan kelompok religi."
"Kondisi seperti itu harus diakhiri, karena tidak sesuai dengan nilai Pancasila," tegasnya.
Baca juga: Beredar Surat M Kece Cabut Laporan Polisi Terhadap Irjen Napoleon Bonaparte, Mengaku Tanpa Tekanan
Kongres Partai Pelopor 2021 digagas olehBoni Z Minang dan kawan-kawan, yang selama ini berada di belakang layar mendukung perjuangan Rachmawati Sukarnoputri.
"Partai pelopor yang insyaallah hari ini akan berganti nama, merupakan sarana dan prasarana untuk meneruskan perjuangan Bung Karno dan Ibu Rachmawati."
"Karena itu ini momentum untuk suksesor pemilu 2024 sekaligus memberi inspirasi baru dalam pentas politik nasional," ucapnya.
Kongres ini dihadiri oleh 34 perwakilan dari tiap provinsi, 6 orang dari 12 pengurus Partai Pelopor hasil kongres 2008, yang separuhnya sudah meninggal dunia.
Ganti Nama
Pada kongres hari ini, Partai Pelopor resmi berganti nama menjadi Partai Pergerakan Kebangkitan Desa (Partai Perkasa).
Hal itu menurut ketua panitia kongres Ristiyanto, merupakan hasil kesepakatan Kongres Partai Pelopor 2021.
"Pergantian nama Partai Pelopor ke Partai Perkasa merupakan keputusan kongres."
Baca juga: Meski Sudah Diizinkan BPOM, Pemerintah Belum Niat Pakai Zifivax untuk Program Vaksinasi Nasional
"Selanjutnya tentu sesuai agenda, akan ada perubahan AD/ART serta pemilihan pengurus Partai Perkasa," ucapnya.
Ristiyanto menjelaskan, kongres 2021 merupakan kongres terakir Partai Pelopor, dan agenda ke depan pihaknya akan mengadakan kongres pertama Partai Perkasa.
"Setelah berganti nama dari Partai Pelopor ke Partai Perkasa, tentunya agenda kami selanjutnya yakni mengadakan kongres pertama Partai Perkasa menjelang Pemilu 2024," terangnya.
Baca juga: Minta Teroris MIT Poso Menyerah, Narapidana Terorisme: Turunlah, Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Ristiyanto menjelaskan, Partai Perkasa mempunyai paradigma baru, dan akan menjadi trigger untuk mengembalikan politik nasional yang menurutnya sudah terlalu jauh bergeser dari nilai Pancasila.
"Partai Perkasa hadir untuk mengubah paradigma partai politik yang cenderung memecah belah kehidupan berbangsa dengan idiom nasionalis ataupun religius," jelasnya
Dua Opsi KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan dua opsi soal pemilu dan pilkada.
Opsi pertama, KPU mengusulkan hari pemungutan suara pemilu digelar pada 21 Februari 2024, dan pilkada 27 November 2024.
Opsi kedua, KPU usul Pemilu digelar pada 15 Mei 2024, dan pilkada pada 19 Februari 2025.
Baca juga: Tulis Surat Terbuka Lagi, Irjen Napoleon Bonaparte: Aku Bukan Koruptor!
Pramono menjelaskan, dua opsi ini dipilih setelah KPU melakukan simulasi berbagai skenario.
"KPU mengajukan dua opsi, yakni opsi I hari H Pemilu 21 Februari 2024, dan Pilkada 27 November 2024."
"Serta opsi II, yakni hari H Pemilu 15 Mei 2024 dan Pilkada 19 Februari 2025," ungkap komisioner KPU Pramono Ubaid lewat keterangan tertulis, Kamis (7/10/2021).
Baca juga: Usul Densus 88 Dibubarkan, Fadli Zon Dinilai Tendensius dan Provokatif
KPU tak berpatok pada tanggal, tapi yang terpenting ada kecukupan waktu pada setiap tahapan pemilihan, mulai dari proses pencalonan pilkada tak terganjal proses sengketa di MK.
Serta, tidak adanya irisan tahapan yang terlalu tebal antara pemilu dan pilkada, sehingga secara teknis bisa dilaksanakan.
Juga, pertimbangan tidak menimbulkan beban terlalu berat bagi jajaran penyelenggara di daerah.
Baca juga: Agar Tak Terbentur Ramadan, PDIP Setuju Pemilu 2024 Digelar pada 21 Februari Seperti Usulan KPU
"Jadi KPU tidak mematok harus tanggal 21 Februari serta menolak opsi lain."
"Bagi KPU, yang penting adalah kecukupan waktu masing - masing tahapan," jelasnya.
Terkait dengan usulan opsi kedua, Pramono mengatakan ada konsekuensi yang harus diberikan, yakni diperlukannya dasar hukum baru.
Baca juga: Minta 8 Orang Dalam Azis Syamsuddin Diusut, Mantan Jubir: Bekerjalah dengan Benar, Dewas KPK
Sebab, jadwal pelaksanaan pilkada telah ditentukan oleh UU Pilkada yakni pada November 2024.
"Sehubungan dengan opsi kedua ini maka berkonsekuensi pada perlunya dasar hukum baru."
"Karena mengundurkan jadwal Pilkada yang telah ditentukan oleh UU Pilkada (November 2024) ke Bulan Februari 2025," terang Pramono.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 7 Oktober 2021: Suntikan Pertama 96.492.154, Dosis Kedua 54.959.545
Sebelumnya, pemerintah mengusulkan Pemilu 2024 digelar pada 15 Mei.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, usulan tersebut ditetapkan dalam rapat internal finalisasi usul pemerintah terkait tanggal Pemilu 2024.
Baca juga: Usul Final Pemerintah Setelah Gelar Simulasi, Pemilu 2024 Digelar pada 15 Mei
Rapat itu turut dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Mensesneg, Menseskab, Mendagri, Menkeu, Menkumham, Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN, di Istana Merdeka, Senin (27/9/2021).
Usulan tersebut, kata Mahfud, mengerucut dari empat usul tanggal pemungutan suara pemilu presiden dan pemilu legislatif 2024 yang telah disimulasikan, yakni 24 April, 15 Mei, 8 Mei, dan 6 Mei.
Usulan tersebut, kata dia, dipilih setelah sebelumnya keempat tanggal tersebut disimulasikan dengan berbagai pertimbangan.
Baca juga: Kepala Densus 88 Ingin KKB Papua Dihadapi Pakai Pendekatan Sindrom Stockholm
Pertimbangan tersebut, kata dia, di antaranya efisiensi waktu dan biaya, termasuk kemungkinan sengketa Pilpres, putaran kedua Pilpres, serta hari-hari besar keagamaan dan hari besar nasional.
"Pilihan pemerintah adalah tanggal 15 Mei."
"Tanggal 15 Mei ini adalah tanggal yang dianggap paling rasional untuk diajukan ke KPU dan DPR sebelum tanggal 7 Oktober," tutur Mahfud di kanal YouTbe Kemenko Polhukam, Senin (27/9/2021).
Baca juga: Pelaku Perjalanan dari AS dan Turki Bakal Langsung Dikarantina Begitu Tiba di Bandara
Mahfud melanjutkan, apabila nantinya tanggal tersebut telah ditetapkan KPU, maka bagi warga negara yang ingin membentuk partai baru untuk ikut Pemilu 2024, harus sudah berbadan hukum di Kementerian Hukum dan HAM selambat-lambatnya awal November 2021.
"Kalau mendirikan partai baru sesudah itu, berarti kan kurang dari dua setengahnya tahun. Itu dilarang oleh undang undang," jelas Mahfud.
Mahfud mengatakan, jadwal resmi terkait Pemilu 2024 akan ditetapkan oleh KPU setelah mendengar usulan dari pemerintah dan DPR.
Baca juga: Ketua DPP Partai Golkar Pastikan Lodewijk Paulus Jadi Wakil Ketua DPR Gantikan Azis Syamsuddin
"Tapi nanti kita dengarkan yang dari KPU dan DPR seperti apa," cetus Mahfud.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan pemungutan suara Pemilu 2024 dilakukan pada April atau Mei.
Hal itu berbeda dari usulan KPU sebelumnya, yaitu pada 21 Februari 2024.
Baca juga: PDIP Bakal Sanksi Kadernya yang Ikut-ikutan Deklarasi Capres 2024
"Kami mengusulkan agar hari pemungutan suaranya dilaksanakan pada Bulan April seperti tahun-tahun sebelumnya."
"Atau kalau masih memungkinkan, Mei 2024," kata Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/9/2021).
Tito menjelaskan alasan Pemilu 2024 diusulkan pada April atau Mei.
Baca juga: Pesawat Rimbun Air Jatuh di Hutan Papua, Tiga Orang Meninggal, Satu Korban Sudah Dievakuasi
Mantan Kapolri itu menyebut, jika Pemilu 2024 digelar pada Februari, akan memajukan semua tahapan sebelumnya, setidaknya pada Juni 2022.
Hal itu tentu akan berdampak pada memanasnya suhu politik nasional dan daerah yang berdampak pada aspek keamanan dan pembangunan.
"Penentuan hari pemungutan suara akan berdampak ke belakang pada penahapan."
Baca juga: Ogah Disebut Salurkan Pegawai ke BUMN, Nurul Ghufron: Sejak Kapan KPK Jadi Penyalur Tenaga Kerja?
"Ini akan berdampak pada polarisasi, stabilitas politik keamanan, eksekusi program-program pemerintah daerah dan lain-lain."
"Bukan hanya pusat, daerah juga, kan semua berdampak."
"Dengan asumsi 21 Februari, ini psikologi publik juga sudah mulai memanas."
Baca juga: Jokowi Berterima Kasih kepada Peternak Ayam yang Bentangkan Poster Keluhkan Harga Jagung Mahal
"Padahal pemerintah baru bergerak Oktober 2019, kira-kira demikian, dan di tengah ini ada pandemi lagi," papar Tito.
Sedangkan untuk Pilkada Serentak 2024, Tito menyatakan pemerintah sepakat dengan usulan KPU, yaitu digelar pada 27 November 2024.
"Kalau untuk masalah pilkada, karena memang dikunci oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, harus di Bulan November 2024, maka usulan Hari Rabu 27 November kami kira enggak masalah," ucap Tito.
KPU Usulkan Pemilu 2024 Digelar pada 21 Februari
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mengusulkan pemilihan umum (Pemilu) 2024 digelar pada 21 Februari.
Usulan itu disampaikan Ilham dalam webinar nasional bertopik 'Roadmap Pemilu 2024', Kamis (17/6/2021).
“Saya sampaikan ini masih belum ditetapkan sama sekali ini."
Baca juga: Disuntik Vaksin Nusantara, Adian Napitupulu: Ketampanan Tidak Berkurang Sama Sekali
"Ini belum diketok dan belum final."
"Ini adalah perhitungan KPU RI dalam menghitung persiapan-persiapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada ke depannya,” ujar Ilham.
“Kami mengusulkan dilaksanakan pada 21 Februari 2024,” jelasnya.
Baca juga: JPU Sebut Julukan Imam Besar Isapan Jempol, Rizieq Shihab: Hati-hati, Jangan Menantang Para Pecinta
Pertimbangan pertama adalah memberikan waktu yang memadai antara penyelesaian sengketa hasil pemilu dan penetapan hasil pemilu, dengan jadwal pencalonan pemilihan (Pilkada).
“Jadi salah satu syarat pencalonan pemilihan atau pilkada adalah hasil pemilu 2024."
"Nah, kalau kita buat pada April 2024, seperti biasanya kira lakukan di tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019, maka ini berimplikasi kepada adanya kekosongan untuk hasil pemilu 2024,” jelasnya.
Baca juga: Anggota Hingga Staf Terpapar Covid-19, Komisi VIII DPR Lakukan Lockdown, Rapat Digelar Virtual
Kedua, lanjutnya, memperhatikan beban kerja badan ad hoc pada tahapan pemilu yang beririsan dengan tahapan pilkada.
Ketiga, agar hari pemungutan suara tidak bertepatan dengan kegiatan keagamaan (Bulan Ramadan).
Pertimbangan terakhir, rekapitulasi perhitungan suara tidak bertepatan dengan hari raya keagamaan atau Idulfitri.
Baca juga: Gabung Partai NasDem, Sutiyoso Langsung Jadi Anggota Dewan Pertimbangan
“Kita upayakan tidak bertepatan dengan hari raya keagamaan Idulfitri.”
“Nah, ini menjadi catatan kenapa kita ingin adakan pada Bulan Februari 2024,” jelasnya.(Chaerul Umam)