Kebakaran
Komnas HAM Bilang Lapas Tangerang Tak Manusiawi, Antasari Azhar: Lalu Apa Solusi Mereka?
Menurutnya, pernyataan itu hanya sebuah asumsi tanpa solusi, namun juga terlalu dini.
TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menyayangkan pernyataan Komnas HAM yang menyebut kondisi Lapas Kelas 1 Tangerang tidak manusiawi.
Menurutnya, pernyataan itu hanya sebuah asumsi tanpa solusi, namun juga terlalu dini.
"Pernyataan Komnas HAM bahwa kehidupan di Lapas Kelas 1 Tangerang tidak manusiawi, saya rasa kurang tepat dan terlalu dini."
Baca juga: DAFTAR Lengkap Wilayah PPKM Jawa-Bali Hingga 20 September, Tangerang Raya Tak Beranjak dari Level 3
"Apakah mereka pernah tinggal di Lapas Tangerang seperti saya?"
"Mereka kan tidak pernah tinggal dan hidup di lapas seperti saya."
"Lalu kalau tidak manusiawi apa solusi mereka, toh tidak ada solusi juga kan?"
Baca juga: Buwas Ungkap Adhyaksa Dault Dilaporkan Soal Aset Kwarnas di Cibubur Dijadikan SPBU
"Sejak dulu dikatakan lapas tidak manusiawi, namun juga tidak pernah ada solusi," ujar Antasari kepada wartawan, Selasa (14/9/2021).
Antasari menuturkan, secara pribadi kondisi Lapas Kelas 1 Tangerang cukup manusiawi dibandingkan lapas lain, karena ada pembagian blok-blok.
"Kalau tidak ada pembagian blok, pasti jika terjadi kebakaran korbannya lebih banyak."
Baca juga: Pegawai KPK Tak Lulus TWK Ditawari Kerja di BUMN, Novel Baswedan Merasa Terhina
"Kalau Komnas HAM berpatokan peristiwa kebakaran sebagai argumen Lapas Tangerang tidak manusiawi, ini jelas tanpa alasan."
"Sebab, kebakaran adalah musibah dan dapat menimpa siapa saja."
"Kapal laut yang dikelilingi air saja bisa terbakar," tutur Antasari.
Baca juga: PPKM Jawa-Bali Bakal Terus Diterapkan, Luhut: Kalau Dilepas Bisa Ada Gelombang Berikutnya
Dia menilai persoalan minimnya jumlah sipir lah yang seharusnya disorot oleh semua pihak.
"Saya sebelumnya pernah katakan jumlah rasio sipir yang tidak sebanding dengan jumlah napi, sehingga pengawasan juga tidak maksimal," ulasnya.
Dia menuturkan, jumlah napi naik terus, namun Antasari mempertanyakan apakah hal itu juga diimbangi dengan penambahan jumlah sipir?
Baca juga: Bantah Tawarkan Pegawai Tak Lulus TWK Kerja di BUMN, Wakil Ketua KPK: Ada yang Minta Tolong
"Itu yang perlu diperbaiki," tegasnya.
Sebelumnya, komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai bangunan Lapas Kelas I Tangerang yang terbakar tidak manusiawi, dan tidak layak dari segi keamanan, sebab masih terdapat bangunan dari tripleks yang mudah terbakar.
Dia meminta ke depan ada perombakan atau evaluasi dari segi bangunan, agar layak sebagai tempat membina narapidana kembali ke masyarakat.
Baca juga: Pegawai KPK Tak Lulus TWK yang Ditawari Kerja di BUMN Harus Teken Surat Pengunduran Diri
"Oleh karena itu bangunan harus didaur ulang."
"Agar semua petugasnya aman dan penghuninya juga aman," ucap Choirul.
Benahi Sistem Hukum, Jangan Bangun Penjara Baru
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar meminta semua pihak tak saling mengambinghitamkan, terkait kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang.
"Yang namanya kebakaran bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, di laut saja bisa terjadi kebakaran."
"Namun yang perlu kita lihat ini sekarang adalah bukan menyalahkan siapa dan pihak mana yang harus kita jadikan kambing hitam."
Baca juga: Pelaku Perjalanan dari Malaysia dan Arab Saudi Kebanyakan Positif Covid-19 Saat Tiba di Indonesia
"Tapi musibah ini tetap harus dipandang sebagai sebuah hikmah yang harus kita syukuri," kata Antasari, Senin (13/9/2021).
Antasari mengatakan, kejadian itu perlu tetap disyukuri, karena nyatanya kondisi lapas Tangerang yang dibagi menjadi blok-blok, mampu membuat kebakaran kemarin tidak merembet ke blok-blok lain.
“Kalau kebakaran itu menimpa lapas lain yang satu blok penuh, maka kalau ada kebakaran akan menghanguskan seluruh lapas."
Baca juga: Political Will dan Anggaran Dinilai Jadi Kunci Selesaikan Masalah Lapas
"Lihat saja bagaimana kebakaran Gedung Kejagung, kan terbakar semua. Maka hal itu yang perlu kita syukuri," tutur Antasari.
Antasari juga meminta Kementerian Hukum dan HAM segera menjadikan kebakaran ini sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan lapas ke depannya.
“Karena kalau kita lihat saat ini ada perbandingan rasio yang jauh antara jumlah sipir dengan jumlah narapidana, sehingga lapas jadi sangat tidak ideal."
Baca juga: Pemerintah Pantau WNI yang Kembali dari Negara Terpapar Covid-19 Varian Mu
"Mungkin 1 sipir berbanding dengan 50 orang narapidana, jelas ini tidak sesuai."
"Apalagi saat ini kelebihan Lapas Tangerang sudah 400 persen, itu artinya ada banyak yang tidak dapat terawasi."
"Maka ketika ada peristiwa kebakaran seperti kemarin, tentu akan sangat sulit untuk diatasi akibat keterbatasan sipir,” ujarnya.
Baca juga: Tato di Punggung Bantu Tim DVI Polri Identifikasi Dua Jenazah Korban Kebakaran Lapas Tangerang
Berdasarkan pengalaman pribadinya selama menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Tangerang, Antasari melihat rasio antara tenaga sipir dan warga binaan jadi kian tak seimbang.
“Dulu tahun 2011 ketika saya di sana, warga binaan baru seribuan, setelah beberapa bulan saya keluar jadi 2.000-an."
"Sekarang kabarnya sudah lebih dari itu. Jadi pasti semakin tidak proporsional rasionya,” ucap Antasari.
Baca juga: Waketum Demokrat Yakin Jokowi Tak Niat Jabat Presiden Tiga Periode, Ini Pihak yang Ia Curigai
Mantan Kasubdit Penyidikan Kejaksaan Agung ini menyatakan, dahulu ketika dirinya berada di dalam lapas, dia pernah ditunjuk sebagai kepala pengamanan yang berasal dari napi untuk membantu para sipir.
“Karena memang jumlah sipirnya terbatas, sehingga harus dibantu."
"Kalau kondisi aman sih, mungkin para sipir terlihat cukup, namun jika sudah ada keributan, baru terlihat para sipir kewalahan."
Baca juga: Pekan Depan Polisi Periksa Napi Hingga Kalapas Tangerang Sebagai Saksi Kasus Kebakaran
"Maka ketika itu kami diperbantukan membuat pengamanan di antara blok."
"Sehingga pernah kami bikin acara panggung gembira bagi napi yang diperkirakan akan rusuh ternyata aman."
"Karena memang sudah terbentuk tim keamanan untuk membantu sipir lapas agar idak ada kerusuhan,” ungkapnya.
Baca juga: Keluarga Minta Jasad Warga Portugal Korban Kebakaran Lapas Tangerang Dikremasi Jika Teridentifikasi
Antasari menyatakan, sudah selayaknya Kemenkumham mengevaluasi jumlah sipir yang ada.
Selain itu, jumlah napi juga harus bisa dikurangi. Caranya, dengan menyeleksi siapa yang harus masuk penjara, dan siapa yang tak perlu masuk penjara.
“Di sistem hukum kita kan sudah ada kesalahan sejak awal dari mulai penyidikan, penuntutan dan peradilan."
Baca juga: Indonesia Kini Punya Vaksin Covid-19 Johnson and Johnson, Belanda Hibahkan 500 Ribu Dosis
"Karena mereka yang tidak masuk lapas kan sebagian besar kasusnya narkoba,“ ulasnya.
Namun, menurutnya, separuh kasus narkoba ini seharusnya tidak berada di dalam lapas, dan sudah layak harus keluar. Sebab, penanganan hukum terhadap mereka salah.
“Dalam kasus narkoba ada terjadi si A punya narkoba 5 kg, kemudian si B beli 2 kg."
Baca juga: Hari Ini Dua Jenazah Korban Kebakaran Lapas Tangerang Berhasil Teridentifikasi, Ini Identitasnya
"Untuk pengantaran si A memakai tukang ojek, ojek enggak tahu isinya apa, sampai depan rumah si B, dia ditangkap polisi."
"Ojek yang masuk penjara bukan si A atau si B, terkadang lolos."
"Padahal si tukang ojek harusnya menjadi saksi kunci."
Baca juga: 65 Persen Pelaku Perjalanan Internasional Positif Covid-19 Saat Tiba di Jakarta, dan Belum Divaksin
"Proses hukum seperti ini yang perlu diperbaiki, jika proses hukumnya benar maka lapas sepi,” beber pria kelahiran Pangkalpinang ini.
Antasari mengaku tak setuju dengan wacana pembangunan lapas baru, sebab yang paling penting adalah mengurangi kelebihan penghuni di dalam lapas.
Sehingga, yang tidak perlu masuk penjara sebaiknya tidak dipenjara.
Baca juga: DAFTAR 9 Vaksin Covid-19 yang Kantongi izin Penggunaan Darurat dari BPOM, Dijamin Aman
“Kalau kita nambah lapas terus, akhirnya kita akan dikenal internasional negeri penjara, itu kesannya kriminal kita tinggi."
"Sehingga investor pun jadi enggak mau masuk, lebih baik kita membenahi sistem hukum kita,” paparnya. (Vincentius Jyestha)